>

HUBUNGI HP 081332003107

Sabtu, 10 April 2010

Kyai, Pesantren, Dan Godaan Politik Praktis

Kyai, Pesantren, Dan Godaan Politik Praktis

Di tengah konstelasi politik nasional saat ini. Kyai merupakan power yang berpengaruh atas kemenangan partai yang ikut berkompetisi di setiap pemilu khususnya di Indonesia. Sosok kyai menjadi incaran para politisi untuk dimintai restunya, atau bahkan melibatkannya dalam kepengurusan partai. Tim sukses yang telah dibentuk para header partai sekarang ini menunjukkan bahwa peran para kyai yang signifikan akan dapat meraup suara. Dalam menentukan capres-cawapres atau caleg-cawaleg sekalipun, tidak akan terlepas dari keikut-sertaan para kyai yang punya basis massa yang riil.
Dalam kondisi seperti ini kita bisa menelaah, bahwa sosok kyai yang awalnya hanya dalam lingkup pesantren desa yang mentransformasikan nilai-nilai agama pada masyarakat lokal, ternyata telah ditempatkan pada posisi yang lebih strategis. Karena para kyai dianggap dapat mengubah mind-set masyarakat yang lebih luas dalam berbagai bidang, termasuk politik di Indonesia. Memang terbukti bahwa Kiyai dalam tradisi pesantren mampu membangun sistem kekerabatan yang berlangsung cukup efektif, sehingga tradisi itu dapat berkembang menjadi sistem sosial yang berpengaruh dalam masyarakat luas. Selama ini masyarakat memposisikan Kyai sebagai sosok teladan, sumber hukum, serta pendorong perkembangan ekonomi dan politik. Dengan demikian, semua tindakan untuk kepentingan umum hampir pasti minta restu dan izin dari Kyai.

Mementingkan Diri Sendiri
Hah, yang menjadi pertanyaan saat ini, Apakah permintaan restu para politisi saat ini untuk kemaslahatan umat…? atau, hanya untuk mengejar status sosial dan kekuasaan..? Pertanyaan ini sangat krusial sekali karena ini semua akan menentukan masa depan bangsa yang masih dalam cengkeraman Krisis Multidimensi. Kalau memang para politisi beriktikad baik untuk kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan mengangkat nasib kaum lemah. Sudah sepatutnya Kiai juga harus mendukung dan memberikan restunya. Tetapi apabila mereka menggunakan restu hanya untuk kepentingan pribadi, mengejar kekuasaan, dan bahkan menindas lawan politik dan kaum lemah.maka sosok kiai harus mengarahkannya agar kembali ke jalan yang benar untuk membangun bangsa secara bersama-sama.
Namun bila kita melihat dan menganalisis perilaku politisi sekarang ini, restu kiai hanyalah untuk memuluskan jalannya menuju RI-1. Seandainya niat para politisi baik dan benar–benar ingin mengabdi kepada masyarakat, kenapa mereka mendekati Kiai hanya ketika mereka membutuhkan dukungan, padahal sebelumnya mereka sama sekali tidak memperhatikan kiai dan umatnya ?. Intinya, seandainya Kyai tidak mempunyai banyak umat, maka Kyai tidak akan pernah laku di ranah politik karena mereka dianggap primitif dan tidak tau sama sekali urusan politik yang njelimet itu. Bahkan sebelumnya, kiai dan pesantren, dan para pengikutnya, dikatakan sebagai problem bangsa. Karena Kiai dan komunitasnya merupakan tipe kelompok tradisionalis yang selalu mempertahankan nilai-nilai tradisi yang dibanggakan masyarakat dan para Kiai sulit diajak berpikir rasional di tengah gelombang modernitas yang kompleks dan kompetitif sekarang ini. Eksistensi kiyai di tengah euforia politik sekarang ini, dalam pandangan penulis telah mereduksi peran signifikan kiai sebagai pemimpin dan teladan santri dan masyarakat. Terjunnya kiai ke dalam kancah politik praktis telah membawa akibat buruk pada keberlangsungan pendidikan keagamaan pada masyarakat.

Krisis Figur
Lebih parah lagi, akibat buruk itu menimpa pada pesantren yang dikelola Kiyai. Banyak kiyai yang telah terjun dalam dunia politik praktis sehingga melalaikan eksistensi pesantren yang dimilikinya. Padahal kita tahu, dari pesantren inilah Sang Kiai mentransformasikan nilai-nilai spiritual-keagamaan dalam masyarakat sehingga masyarakat menemukan kehidupan sejatinya dari Sang Kiai. Kepergian kiai di tengah-tengah pesantren dan masyarakat jelas telah menghilangkan sosok pemimpin dan teladan yang dianut dan dijadikan pijakan dalam masyarakat. Para santri tidak akan lagi mengaji dan menimba ilmu dari Sang Kiyai, dan akibatnya stok santri yang nantinya didamba-dambakan menjadi kader kiai sudah sangat langka sekali ditemukan di zaman ini. Selain itu, pola hubungan antara santri dan kiai seakan mengalami kesenjangan. Demikian juga dengan masyarakat dan kiyai. Mereka seolah telah kehilangan wejangan-wejangan berharga. Bahkan lebih dari itu, mereka akan rela membuat satu golongan yang dianggapnya benar dan sejalan dalam mendukung partai pilihan Kyainya, serta menganggap kelompok lain salah karena tidak mendukung partai itu. Akhirnya, kyai bukan lagi pengayom dan pemersatu umat. Tapi lebih dari itu, kyai adalah produser yang unggul untuk memecah belahkan umat yang akan berdampak kepada masyarakat yang selalu lalai terhadap nilai-nilai keagaman, karena mereka akan sibuk dalam membicarakan dan mengkampanyekan Kyai yang diusung oleh golongan mereka sendiri. Apalagi ditambah dengan Sang kiai yang tidak hadir lagi di tengah-tengah mereka lantaran sudah disibukkan dengan kepentingan pribadi dan golongan mereka sendiri. Hubungan kiai-santri-masyarakat mengalami disharmonisasi yang bisa merugikan di kemudian hari. Dengan kata lain, pesantren layaknya seorang anak yang tak kunjung menemukan Sang ayah yang pergi merantau dan menjanjikan masa depan yang cerah, sehingga sang anak akan mencari pengganti ayah di mana pun mereka menemukan.
Krisis figur yang dialami pesantren ini sangat berbahaya. Bagaimanapun pesantren merupakan lembaga pendidikan keislaman yang genuine di Tanah Air tercinta ini, dan telah membuktikan dirinya dalam mencetak kader-kader bangsa yang mengedepankan kejujuran, kebersamaan, dan keadilan. Untuk itu sudah saatnya sekarang kita melakukan penyelamatan lembaga pesantren ini agar tetap eksis dan menjalankan peran utamanya dalam masyarakat. Sudah saatnya para kiai lebih mengedepankan pengembangan pesantrennya daripada sibuk terjun di dunia politik praktis yang ujung-ujungnya hanya akan menelantarkan santri dan pesantrennya.

Memperkuat ”Civil Society”
Sudah saatnya Kiyai kembali pada medan dakwah aslinya di lingkungan sendiri. Karena ternyata dakwah kiai di tengah dunia politik yang penuh kecurangan, tipu muslihat, malah menjerumuskan Kiyai ke lubang kehancuran dan kehinaan. Dan bila kita melihat, keterlibatan Kiyai di panggung politik, ternyata juga tak memberikan sumbangan berarti dalam menciptakan perilaku politik yang berakhlak. Nilai-nilai spiritualitas seperti keadilan, persamaan, dan amanah gagal ditransformasikan dalam kehidupan politik, bahkan tidak bisa dipungkiri, dalil agama yang dimiliki kiai digunakan untuk melegitimasi peran politiknya yang kadang-kadang keluar dari nilai-nilai keislaman itu sendiri. Sehingga bisa dikatakan ada semacam distorsi terhadap dalil agama dalam melanggengkan kekuasaan.
Gagasan agar kiai kembali ke medannya sekarang ini menemukan momentumnya di tengah tuntutan penguatan masyarakat sipil. Bidang garapan kiai dalam memberdayakan civil society sesungguhnya banyak sekali, melebihi bidang garapan dunia politik praktis. Sebagai kekuatan masyarakat, ke depan kiai harus memposisikan dirinya sebagai oposisi ekstra parlementer bagi eksekutif, legislatif, dan yudikatif menuju pemerintahan yang bersih dan menjadi Baldatun Toyyibatun Waraobbun Ghofur.
Kemampuan kiai dalam memperkuat civil society inilah yang sebenarnya akan tetap menjaga nama baik dan reputasi kiai di mata masyarakat. Kiai akan tetap dianggap sebagai culture broker dan pemimpin, yang segala perilaku dan pemikirannya akan selalu menjadi suri tauladan yang mengajak masyarakat ke jalan yang benar. Bahkan dengan kharismanya, ia akan berdiri di atas semua golongan dan menjadi penawar racun perseteruan dalam kita berbangsa dan bermasyarakat. SO, Please..... come back to the basic!

0 komentar:

win gayo ku nasar woy by : sadum_andes@yahoo.com cinta akan selalu milik nasar