>

HUBUNGI HP 081332003107

Sabtu, 10 April 2010

Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam


Masalah hubungan antara Islam dan Pancasila rupanya masih menarik perhatian banyak kalangan. Munculnya beragam peraturan daerah (perda) yang bernuansa syariat Islam di beberapa daerah di era refromasi sedikit banyak kembali memancing perdebatan lama mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila atau wacana hubungan antara negara dan agama.
Bagi sebagian kalangan, perdebatan ini mungkin membosankan. Dalam konteks sejarah Indonesia, polemik ini sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan itu dilakoni para tokoh pergerakan nasional sebagai bagian dari proses pencaharian identitas bersama. Asumsi mendasari perdebatan mereka, bagaimana caranya menjalankan negara dan bangsa jika kelak kemerdekaan nasional diperoleh.
Konflik Ideologis
Pada pertengahan 1940-an, perdebatan berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Asumsi perdebatan itu kembali berkisar pada persoalan prinsipil, yakni atas dasar apa negara Indonesia didirikan dan dioperasikan kelak? Dari sekian banyak unsur bangsa yang tergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan itu, pada akhirnya mengerucut hanya menjadi dua kelompok utama (mainstream), yakni pendukung dasar negara Islam dan nasionalisme (kebangsaan) sekuler.
Dari naskah sidang-sidang BPUPKI kelihatan, perdebatan mengenai dasar negara sangat keras, sekalipun prosesnya masih dalam batas-batas wajar dan civilized. Ini bisa dipahami karena The Founding Father and Mothers adalah generasi baru yang terpelajar, baik dari hasil pendidikan Barat, pendidikan Islam maupun kombinasi kedua sistem pendidikan. Sejarah mencatat, pada akhirnya, perdebatan itu berakhir pada satu titik “kompromi”. Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia dinilai sebagai hasil kompromi maksimal pada tokoh nasional saat itu.
Sekalipun demikian, secara prinsipil, hasil kompromi itu masih bersifat longgar. Dasar negara rupanya menjadi “kitab” terbuka untuk dipersoalkan lagi. Mungkin di masa revolusi (1945-1949) perdebatan itu agak terhenti, karena para tokoh avant garde itu harus menghadapi musuh bersama yakni upaya-upaya rekolonisasi Belanda, akan tetapi pada tahun 1950-an, polemik klasik itu mencuat lagi ke pemukaan dalam bentuknya yang lebih keras. Perseteruan antara kelompok pendukung ide Pancasila (nasionalisme sekuler)) dan Islam (nasionalisme-religius) kembali mendapatkan tempat.
Pada dasarnya perdebatan di Konstituante itu positif, sebagai manifetsasi demokrasi liberal, akan tetapi karena tidak pernah menemui ujung penyelesaian, proses perdebatan itu akhirnya memicu munculnya malapetaka baru dalam perpolitikan Indonesia. Bukan Islam atau Pancasila yang diimplementasikan sebagai dasar penyelenggaraan negara, akan tetapi justru sistem otoriterianisme. Islam maupun Pancasila dalam pengertiannya yang idealistik akhirnya harus “minggir” ke belakang.
Demokrasi Terpimpin (1959-1066) menjadi titik balik (the turning point) demokrasi paling krusial dalam sejarah Indonesia. Rezim mengikrarkan kembali ke UUD 1945, sebuah naskah historis yang di dalamnya termaktub butir-butir Pancasila, akan tetapi praktiknya justru despotisme. Pancasila dan UUD 1945 menjadi kredo belaka bagi kekuasaan absolut. Namun demikian, bagi sejumlah ahli tata negara, praktik antidemokrasi yang berlangsung sejak 1959 tidak mengherankan, karena secara prinsipil, UUD 1945 memang sangat mungkin untuk diselewengkan.
Dominasi Pancasila
Sejak saat itu, kalangan Islam ideologis tidak mendapatkan panggung yang sebanding untuk memperjuangkan kembali dasar negara Islam. Otoritarianisme membuat ekspresi politik kelompok ini “mati kutu”. Sebaliknya, sebagian kelompok nasionalis-sekuler mendapatkan panggung justru karena berlindung di balik otoriterianisme. Memang, muncul pula kelompok agama dalam formasi kekuatan politik saat itu, akan tetapi eksistensi mereka tak lebih sebagai “pelengkap” belaka untuk sebuah formalitas unsur kebangsaan. Mereka tidak mewakili arus utama kelompok Islam idiologis.
Pada masa Orde Baru, suasana politik berubah, karena pergantian rezim. Polemik Islam dan Pancasila kembali mendapatkan sedikit ruang, sekalipun di batasi dalam kerangka wacana belaka. Despotisme yang panjang, termasuk dalam bentuk deislamisasi dan depolitisasi, telah membuat kredibilitas kelompok Islam ideologis surut. Orde Baru yang pada awalnya dinilai berbaik hati kepada kelompok Islam idiologis, ternyata justru tak kalah kerasnya dibandingkan Orde Lama. Kelompok-kelompok idiologis ditekan.
Pada masa inilah Pancasila sebagai sebuah ideologi menjadi unsur determinan dalam wacana politik. Celakanya, Pancasila kembali berubah menjadi kredo untuk membenarkan perilaku otoriter penguasa. Pancasila menjadi “makhluk” yang menakutkan bagi banyak kalangan, termasuk kelompok Islam idiologis (juga kelompok kiri, mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi yang jumlahnya minoritas). Perdebatan lama tadi pun akhirnya beralih tempat dari parlemen ke komunitas intelektual. Beberapa generasi intelektual malah memberikan “pembenaran” bagi eksistensi Pancasila, sekalipun idiologi ini telah dieksploitasi bagi kepentingan otoritarianisme.

Akan tetapi di balik itu, pada masa Orde Baru, juga terjadi transformasi lain, yakni munculnya kelompok dalam Islam yang mencari argumentasi untuk mensinergikan antara Islam dan Pancasila. Bagi mereka, tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sejarawan Kuntowijoyo, misalnya, melihat Pancasila sebagai objektivikasi Islam. Baginya, tidak ada sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan Islam dan sebaliknya tidak ada ajaran dalam Islam yang tidak cocok dengan Pancasila.
Hanya saja, karena dikemukakan di zaman Orde Baru, muncul spekulasi bahwa pandangan para sarjana Islam itu memberikan pembenaran terhadap praktik otoriatanisme. Rezim ini justru menyelenggaraan otoritarianisme dengan klaim telah melaksanakan Pancasila. Karena itu masih menjadi pertanyaan, apakah pemikiran sarjana Islam perihal kesesuaian antara Islam dan Pancasila menjadi justifikasi intelektual bagi praktik otoriterianisme?
Ketika rezim otoriter runtuh dan reformasi menyeruak, pemikiran soal hubungan antara negara dan agama kembali mencuat ke permukaan. Hanya saja konteks sosio-politiknya sudah berbeda. Para sarjana pun harus mencari formula baru hubungan antara Islam dan kebangsaan dalam konteks demokrasi dan reformasi. Sebab aktualisasi hubungan keduanya bisa berbeda antara zaman otoriter dengan zaman demokrasi.
Di era reformasi dan demokrasi, bentuk hubungan antara Islam dan negara tak serta merta koheren satu sama lain. Demokrasi justru memungkinkan menyeruaknya segala macam aspirasi, termasuk aspirasi “laten” dari kalangan Islam idiologis, yakni memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspirasi itu mungkin tidak lagi menjadi benchmark partai-partai Islam, karena reputasinya merosot drastis pasca-depolitisasi dan deparpolisasi Orde Baru.
Aspirasi syariat Islam justru lahir dari lembaga-lembaga demokrasi baru, seperti parlemen lokal. Lahirnya sejumlah perda bernuansa syariat Islam di beberapa daerah justru lahir dalam konteks demokrasi lokal. Persoalan sekarang, bagaimana mencari formula yang tepat supaya Islam, Pancasila dan demokrasi tidak berbenturan satu sama lain.
Secara prinsip, ketiga entitas mungkin bisa bersesuaian satu sama lain, akan tetapi jika politik kepentingan sudah mendominasi, maka ketiganya bisa dimanfaatkan hanya untuk kepentingan parsial perorangan atau kelompok atas nama publik. Di masa Orla dan Orba, Pancasila dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan otoriter, maka di masa reformasi, tidak hanya Pancasila sebagai idiologi, Islam dan demokrasi pun bisa diperkuda untuk kepentingan sempit segelintir elite atau kelompok yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.(CMM)

0 komentar:

win gayo ku nasar woy by : sadum_andes@yahoo.com cinta akan selalu milik nasar